Pada masa awal-awal kemerdekaan, dikisahkan Soekarno bertanya kepada Kiai Wahab Hasbullah, Pendiri Pondok Pesantren Denanyar Tambak Beras Jombang Jawa Timur, bagaimana memperlakukan Belanda yang masih bercokol di Irian Barat usai penyerahan wilayah seluruh Indonesia pada tahun 1949. Berbagai upaya perundingan telah dilakukan dari tahun 1950 hingga 1956.
Dalam kondisi itu Soekarno menghubungi Kiai Wahab di Jombang Jawa Timur. Ia menanyakan bagaimana hukumnya orang-orang Belanda yang masih bertahan di Irian Barat. Kiai Wahab menjawab tegas, “Hukumnya sama dengan orang yang ghasab.”
“Apa artinya ghasab, Kiai?” tanya Bung Karno.
“Ghasab itu istihqaqu mâli al-ghair bighairi idznihi. Artinya menguasai hak milik orang lain tanpa izin,” terang Kiai Wahab.
“Lalu bagaimana solusi untuk menghadapi orang yang ghasab?”
“Adakan perundingan,” tegas Kiai Wahab.
Lalu Bung Karno bertanya lagi, “Menurut insting Kiai, apakah jika diadakan perundingan damai akan berhasil?”
“Tidak.”
“Lalu kenapa kita tidak potong kompas saja, Kiai?” Bung Karno sedikit memancing.
“Tak boleh potong kompas dalam syariah,” kata Kiai Wahab. Selanjutnya Bung Karno mengutus Subandrio mengadakan perundingan yang terakhir kali dengan Belanda untuk menyelesaikan konflik Irian Barat. Perundingan ini akhirnya gagal. Kegagalan ini disampaikan Bung Karno pada Kiai Wahab. “Kiai, apa solusi selanjutnya menyelesaikan masalah Irian Barat?”
“Akhodhahu Qohro (Ambil/kuasai dengan paksa!)” Kiai Wahab menjawab.
“Apa rujukan Kiai untuk memutuskan masalah ini?”
“Saya mengambil literatur Kitab Fath al-Qarîb dan syarahnya (Al-Baijuri).”
Setelah itu, barulah Bung Karno membentuk barisan Trikora (Tiga Komando Rakyat) dalam upaya merebut kembali Irian Barat, yang akhirnya berhasil diambil pada tahun 1963.
Ternyata, untuk menyelesaikan masalah Papua, cukup dengan merujuk kitab Fathul Qârib, kitab pengantar fiqih Imam Syafi’i, yang disusun oleh Syekh Syamsuddin Abu ‘Abdillah, Muhammad bin Qasim rahimahumullah. Yang jika menengok ke pesantren, kitab ini masih kategori kitab dasar bagi para santri.
sumber: http://www.pendidikanislam.id/